Pada ternak unggas jika terjadi stress maka kemampuan yang mereka miliki tidak bisa tampak secara maximal olehnya itu kondisi optimal dalam pemeliharaan unggas harus dipertahankan agar dapat mendapatkan hasil produksi yang maximal, untuk lebih jelasnya mari kita menyimak uraian dibawah ini.
Stress didefinisikan sebagai ketegangan secara fisik atau secara psikologis. Stress pada unggas dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya tekanan eksternal seperti nutrisi pakan, perubahan ransum secara tiba-tiba, perubahan air minum, luas kandang, tingkat produksi, jumlah unggas yang dipelihara secara tiba-tiba, perkandangan, pemeliharaan rutin, transportasi, kegaduhan, adanya orang yang tidak dikenal, sakit, kelelahan, manajemen, temperatur dan perubahan cuaca secara tiba-tiba (Ensminger, 1992).
Menurut Kilgour dan Dalton (1984) batasan praktis terhadap stress adalah terjadinya perilaku abnormal, turunnya konsumsi pakan, produksi rendah, timbulnya penyakit dan kematian. Cekaman merupakan respon yang timbul apabila ternak dihadapkan pada suatu perubahan lingkungan. Sifat nervous akan meningkat kepekaannya terhadap
terjadinya cekaman dari pengaruh lingkungan, karena cekaman secara biologis adalah berbagai reaksi yang dilakukan hewan untuk memelihara integritas proses-proses fisiologis di dalam tubuh. Perlakuan dalam pemeliharaan akan berdampak pada timbulnya cekaman seperti perkandangan, pemberian pakan dan minum, kegaduhan dan dampak pemeliharaan secara intensif lainnya. Indikator terhadap cekaman ringan secara fisiologis dapat diamati terjadinya perubahan atau peningkatan dari unsur hematologis, endokrinologis, metabolisme maupun perilaku ternak. Secara fisiologis perubahan-perubahan akibat cekaman pada unggas terjadi pada kelenjar adrenal ( hypertropi, kadar kolestero menurun, sintesis kortikosteroid meningkat, kandungan asam askorbat menurun); darah (kolesterolemia, NPN meningkat, Ca++ meningkat, rasio Na++ dan K+ berubah, kortikosteroid meningkat, glukosa meningkat, heteropilia, limfopenia) dan jaringan limfoid (involusi bursa fabricius, involusi thymus, level antibodi menurun) (Siegel, 1971; Freeman, 1967; Ringer, 1976). Akibat tidak langsungnya pada cekaman berat akan menyebabkan perilaku yang tidak normal, menurunkan konsumsi pakan, produksi rendah, penyakit dan kematian sehingga dapat menurunkan kinerja produksi (Kilgour dan Dalton, 1984).
Vitamin C Sebagai Antistress
Vitamin C lebih dikenal sebagai asam askorbat karena sifatnya yang asam dan efektifitasnya dalam pengobatan skurvi.Selanjutnya Padue dan Thaxton (1986), melaporkan bahwa suplementasi vitamin C berpengaruh terhadap pertumbuhan, reproduksi, mortalitas, dan berpengaruh positif terhadap unggas yang mengalami cekaman lingkungan dan gizi. Sifat asam disebabkan oleh dua hidroksilenoat yaitu hidroksil pada C-3 dan C-2 (Delgado, 1982). Vitamin C merupakan struktur paling sederhana, merupakan senyawa dengan rumus bangun yang menyerupai suatu monosakarida dan dalam kenyataan vitamin C secara biokimia disintesa dari D-glukosa (Brown, 1976). Vitamin C tergolong senyawa yang larut dalam air dan bersifat tidak stabil, serta mudah teroksidasi selama proses pembuatan dan penyimpanan pakan.
Pardue dan Thaxton (1986) menyatakan bahwa vitamin C (asam askorbat) belakangan dikenal sebagai antistress yang baik dan banyak dimanfaatkan pada unggas karena dibutuhkan dalam reaksi hidroksilasi pada sistem syaraf dan medulla adrenal. Vitamin C sebagai kosubstrat dalam hidroksilasi tirosin pada pelepasan norepineprin dan dalam medulla adrenal untuk pelepasan kotekolamin lain yaitu epinefrin. Peranan ini penting untuk fungsi sistem syaraf secara normal dan untuk ketersediaan epinefrin dalam hubungannnya dengan stress (Linder, 1992). Menurut Piliang (2001) suplemen vitamin C dalam jumlah banyak diperlukan jika tubuh dalam kondisi stress karena secara emosional atau cekaman lingkungan, untuk mempertahankan konsentrasi asam askorbat yang normal dalam plasma darah. Hal ini sesuai dengan pendapat Hornig dan Frigg (1979) ayam tidak mempunyai kemampuan lagi untuk mensintesis vitamin C dalam jumlah yang cukup apabila mendapat cekaman panas.
Kadar vitamin C dalam plasma dan hati menurun dengan bertambahnya umur. Pada saat menetas kecepatan sintesis vitamin C pada ginjal ayam masih lambat, tetapi setelah itu akan meningkat beberapa kali lipat sampai umur 20 – 30 hari dan menurun setelah di atas umur 30 – 40 hari (Hornig dan Frigg, 1979).
Penelitian penanggulangan cekaman dengan pemberian vitamin C pada broiler, ayam petelur yang sedang produksi dan ayam hutan hijau telah dilakukan di Indonesia. Ichsan (1991) melaporkan bahwa pemberian vitamin C pada suhu ruang 33oC tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap kecepatan pertumbuhan. Pengaruh yang menonjol adalah pada peningkatan daya tahan cekaman panas yang ditandai dengan lebih rendahnya angka kematian pada broiler yang diberi vitamin C dibandingkan dengan yang tidak diberi. Habibie (1993) dalam kesimpulan laporannya menyatakan bahwa suplementasi vitamin C pada ayam petelur tipe medium fase produksi I dan fase produksi III secara nyata meningkatkan produksi telur (hen day), menurunkan konversi ransum dan tidak berpengaruh pada konsumsi pakan, berat dan kerabang telur. Suplementasi vitamin C sebanyak 1000 ppm pada fase produksi III memberikan respon yang lebih tinggi dan memberikan keuntungan lebih besar dibandingkan pada fase produksi I. Widjajakusuma (1999) melaporkan bahwa pemberian vitamin C dosis tinggi atau kombinasi dengan serbuk pinang pada ayam hutan hijau pada umumnya dapat memperbaiki kinerja reproduksi dan hematologis sebagai indikator tertanggulanginya cekaman.
Selain pemberian Vitamin C, terdapat alternatif lain yang menurut saya juga efektif yaitu dengan pemberian vitamin lengkap yang tentunya didalamnya terdapat berbagai macam vitamin termasuk vitamin C. Dalam hal ini saya menyarankan pemberian Improlin-G yang didalamnya tidak hanya terkandung vitamin namun juga mineral dan enzym yang penting untuk menjaga kesehatan ternak sekaligus mampu menurunkan FCR.
(sumber: dokterternak.com)