Rabu, 09 Januari 2013

Penyakit malaria like atau Outbreak Leucocytozoonosis

Penyakit malaria like atau Outbreak Leucocytozoonosis
Leucocytozoonosis atau yang lebih dikenal dengan sebutan “malaria like” merupakan salah satu penyakit pada unggas yang disebabkan oleh parasit protozoa. Protozoa penyebab penyakit ini adalah Leucocytozoon sp. dari famili Plasmodiidae, salah satu contoh spesiesnya adalah Leucocytozoon caulleryi.

Leucocytozoonosis ditularkan oleh lalat hitam (Simulium sp.) dan Culicoides sp. Kedua serangga tersebut bertindak sebagai vektor dan menginfeksi unggas sehat melalui gigitan. Simulium sp., atau lalat hitam, biasa hidup pada air yang mengalir dan menggigit pada siang hari, sedangkan Culicoides sp. hidup pada air yang menggenang, kotoran ayam yang becek dan cenderung menggigit pada malam hari. Leucocytozoon caulleryi menyebar melalui serangga Culicoides sp., sedangkan spesies Leucocytozoon lainnya melalui lalat hitam.

Banyaknya kasus “malaria like” umumnya terjadi pada musim pancaroba, yaitu pada perubahan musim penghujan ke musim kemarau atau sebaliknya. Penyakit ini juga termasuk musiman karena dipengaruhi oleh siklus perkembangbiakan vektor. Penyakit “malaria like” akan semakin tinggi kejadiannya saat kondisi lingkungan mendukung bagi perkembangan nyamuk dan lalat selaku vektor penyakit ini. Populasi nyamuk atau serangga cenderung meningkat saat terjadi perubahan musim, dari musim hujan ke musim panas atau sebaliknya. Di musim hujan banyak air tergenang. Nyamuk dan lalat kemungkinan akan membawa bibit penyakit berkembang dan kemudian menularkan bibit penyakit tersebut ke ayam melalui gigitan serta akan berperan menjadi vektor atau agen penular ke ayam lainnya. Seringkali outbreak mulai terlihat saat musim kemarau tiba.

Berdasarkan keterangan di atas, perlu disimak lebih jauh mengenai kasus leucocytozoonosis ini agar dapat dilakukan diagnosa, pencegahan dan pengendalian penyakit yang tepat sedini mungkin.

Kerugian bagi Ayam Pedaging dan Petelur

Penurunan produktivitas sebagai kerugian utama pada ayam pedaging dan petelur. Mulai dari pembengkakan nilai FCR (rasio konversi pakan), pertumbuhan terhambat, sampai terjadinya penurunan produksi telur dan tingkat pengafkiran yang tinggi. Tingkat kematian ayam rata-rata berkisar antara 10-80%, terdiri dari kematian anak ayam sebesar 7-50% dan ayam dewasa 2-60%.

Meskipun kasus penyakit ini lebih sering ditemukan pada peternakan ayam pedaging, bukan berarti peternakan ayam petelur dapat luput dari infeksi penyakit ini. Kasus leucocytozoonosis pada ayam petelur memang jarang terjadi, tetapi jika leucocytozoonosis menyerang maka tingkat kematiannya bisa mencapai 30%. Selain itu juga menyebabkan peningkatan nilai FCR dan penurunan produksi telur. Persentase kejadian leucocytozoonosis pada ayam petelur tahun 2009 sekitar 17,86% (Data tenaga lapangan Medion, 2009). Pada fase pullet, leucocytozoonosis bisa menimbulkan kematian. Ayam yang masih muda, daya tahannya masih kurang, jika terserang dapat menyebabkan kematian. Yang lebih berbahaya, jika ayam sudah lebih kuat, gejala klinis tidak terlihat, tetapi parasit protozoa ada di dalam tubuhnya. Ayam inilah yang akan menjadi carrier (pembawa agen penyakit). Derajat keparahan penyakit ini tergantung dari jumlah parasit protozoa di tubuh ayam dan kondisi ayam.

Infeksi kronis leucocytozoonosis terjadi dari hari ke hari melalui unggas yang terinfeksi, walaupun penyebarannya hanya terjadi melalui vektor insekta. Keberadaan parasit leucocytozoon sp. pada vektor insekta hanya bersifat efektif maksimal selama 18 hari. Jika kejadian penyakit berlangsung terus menerus selama musim serangga, maka kejadian tersebut mungkin disebabkan oleh adanya generasi penerus lalat hitam dan nyamuk yang menggigit unggas carrier.

Gejala
Pada gejala yang bersifat akut, proses penyakit berlangsung cepat dan mendadak. Suhu tubuh yang sangat tinggi akan dijumpai pada 3-4 hari post infeksi, kemudian diikuti dengan anemia akibat rusaknya sel-sel darah merah, kehilangan nafsu makan (anoreksia), lesu dan lemah serta lumpuh.

Ayam yang terinfeksi parasit protozoa dapat mengalami muntah darah, mengeluarkan feses berwarna hijau dan mati akibat perdarahan. Infeksi Leucocyztooon caulleryi dapat mengakibatkan muntah darah dan perdarahan atau kerusakan yang parah pada ginjal. Kematian biasanya mulai terlihat dalam waktu 8-10 hari pasca infeksi. Ayam yang terinfeksi dan dapat bertahan akan mengalami infeksi kronis dan selanjutnya dapat terjadi gangguan pertumbuhan dan produksi.

Ayam yang terinfeksi protozoa ini akan menunjukkan adanya perdarahan dengan ukuran yang sangat bervariasi pada kulit, jaringan subkutan, otot dan berbagai organ, misalnya ginjal, hati, paru-paru, usus dan bursa Fabricius. Hati dan ginjal biasanya membengkak dan berwarna merah hitam. Ayam muda di bawah umur 1 bulan (mulai umur 15 hari) lebih rentan terserang, biasanya mulai terlihat setelah 1 minggu terinfeksi. Beberapa penyakit yang memiliki gejala mirip dengan leucocytozoonosis diantaranya ND, AI, ILT, kolera, Gumboro dan keracunan sulfonamida. Diagnosa banding penyakit tersebut dengan penyakit leucocytozoonosis diantaranya :
  • Perdarahan pada ayam terserang leucoytozoonosis berbentuk bintik sedangkan pada serangan Gumboro berbentuk garis
  • Muntah darah pada kasus ILT berasal dari perdarahan saluran pernapasan, sedangkan muntah darah pada leucocytozoonosis berasal dari perdarahan saluran pencernaan
  • Pada kasus serangan ND, AI dan kolera terlihat berak hijau lumut (diare) dengan gumpalan putih sedangkan pada serangan leucocytozoonosis terlihat berak hijau dengan gumpalan putih tetapi tidak encer/tidak diare
Pemeriksaan Laboratorium
Penyakit leucocytozoonosis, selain murni, seringkali timbul disertai dengan komplikasi, baik dengan penyakit viral, bakterial maupun penyakit protozoa lainnya. Pada kasus di lapangan, penyakit ini biasanya ditemukan bersama-sama dengan Gumboro sebagai penyakit primer atau sebagai infeksi sekunder. Selain itu bisa juga berkomplikasi dengan penyakit seperti korisa, CRD dan colibacillosis. Pada tahun 2009, kejadian murni penyakit leucocytozoonosis mencapai 85,71%, sedangkan yang disertai komplikasi mencapai 14,29% (Data tenaga lapangan Medion, 2009).


Tanda-tanda gejala klinis dan hasil bedah bangkai yang diperlihatkan pada kasus murni, komplikasi dan beberapa kasus penyakit lain seringkali juga mirip, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memantapkan diagnosa. Pemeriksaan dilakukan dengan mengambil sampel darah untuk pemeriksaan adanya sporozoit Leucocytozoon sp. Hal ini bisa dilakukan di Medilab (laboratorium Medion) yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia.

Tindakan Pencegahan dan Pengendalian
Dalam menentukan usaha pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit parasit, maka pengetahuan tentang ekologi parasit tidak boleh diabaikan. Dalam mempelajari ekologi parasit, setidaknya ada faktor-faktor yang berperan antara lain parasit, hospes (ternak) dan lingkungan yang saling mempengaruhi dan berhubungan dalam mempengaruhi persentase kejadian atau tingkat infeksi penyakit di lapangan (peternakan) (Brotowidjojo, 1987).

Faktor parasit yang dominan antara lain siklus hidup dan viabilitas (daya tahan hidup). Faktor hospes yang paling dominan mempengaruhi ekologi parasit antara lain umur, ras, jenis kelamin, status imunitas dan status nutrisi. Lingkungan juga merupakan faktor yang sangat penting dan komplek dalam mempengaruhi ekologi parasit. Faktor lingkungan yang berpengaruh antara lain musim, curah hujan, suhu, sinar matahari, keadaan goegrafi serta tata laksana peternakan.

Tindakan dalam pencegahan leucocytozoonosis yang dianggap paling efektif adalah menekan atau mengeliminasi vektor biologis (insekta). Variasi umur ayam pada suatu lokasi peternakan perlu ditekan untuk menghindari adanya kelompok umur yang bertindak sebagai carrier. Jika ayam carrier dapat dihilangkan, maka vektor serangga tidak dapat membawa dan menularkan parasit Leucocytozoon sp. tersebut pada ayam lain yang lebih muda. Pengendalian larva lalat hitam dapat juga dilakukan dengan pemberian Larvatox. Contoh tindakan pencegahan yang dapat diaplikasikan diantaranya sebagai berikut :

Penyakit malaria like atau Outbreak Leucocytozoonosis
  1. Perubahan lingkungan untuk atasi vektor serangga (insekta). Tujuannya ialah mengubah lingkungan peternakan menjadi tempat yang tidak ideal bagi serangga untuk menetap. Penanganan serangga dapat secara khusus atau sesuai jenis serangga dan atau secara umum yaitu perbaikan manajemen tata laksana peternakan. Secara khusus, misalnya terhadap lalat. Karena lalat senang dengan tumpukan feses, maka pembersihan feses harus dilakukan minimal seminggu sekali yang didasarkan pada daur hidup lalat yaitu 7-10 hari. Upayakan pembersihan feses lebih sering saat musim hujan agar feses tidak basah. Usahakan pula agar atap kandang tidak bocor saat hujan. Hindari semak-semak dan air menggenang di sekeliling areal peternakan. Air minum hendaknya rutin diganti setiap hari agar tidak dijadikan tempat berkembangbiaknya lalat dan nyamuk. Tindakan lain dapat pula dilakukan adalah penyemprotan insektisida (fogging) di areal peternakan, pemotongan rumput liar, penguburan barang-barang/ kaleng-kaleng bekas dan pembersihan selokan. Penanganan secara umum misalnya melakukan manajemen tata laksana kandang, air, dan pakan yang baik. Ransum dengan kandungan protein kasar dan garam tinggi dapat mendorong ayam minum lebih banyak sehingga feses ayam menjadi lebih encer (basah). Penambahan kapur gamping ke tumpukan feses, selain memperbaiki pH juga memperbaiki daya serap air sehingga feses menjadi lebih kering dan menghindari lalat berkembang biak dalam feses.
  2. Ciptakan suasana nyaman bagi ayam dengan cara mengelola lingkungan peternakan dengan baik. Contoh tindakan yang dapat dilakukan adalah mengatur kepadatan kandang agar tidak terlalu padat, jaga kondisi litter agar tidak lembab, kontrol ventilasi kandang dan lakukan sistem “all in all out” dalam menjalankan usaha peternakan. Penggunaan kipas pada kandang ayam juga dapat membantu menekan populasi serangga.
  3. Melakukan sanitasi kandang saat tiba masa istirahat kandang, dengan cara kandang dibersihkan, lalu dicuci dan disemprot dengan Antisep, Zaldes, Formades atau Sporades. Membatasi jumlah tamu masuk ke areal kandang, mencegah hewan liar dan hewan peliharaan masuk ke lingkungan kandang.    
  4. Peralatan peternakan seperti tempat minum, tempat ransum dan lainnya di cuci sampai bersih. Kemudian rendam selama 30 menit dalam larutan Medisep 15 ml per 10 liter air dan lakukan 4 hari sekali. Majukan dan mundurkan jadwal desinfeksi jika harinya bersamaan dengan jadwal vaksinasi.
  5. Berikan vitamin pada ayam seperti Fortevit, Aminovit dan Vita Stress untuk menambah stamina dan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit.
  6. Pada wilayah-wilayah endemik yang sebelumnya pernah terjangkit penyakit leucocytozoonosis diperlukan usaha pencegahan yang lebih ekstra. Tindakan yang dapat diberikan yaitu melalui pemberian obat. Berdasarkan data tenaga lapangan Medion (2009) diketahui bahwa leucocytozoonosis mulai menyerang ayam pedaging pada umur 3 minggu dan kasus terbanyak pada umur 5 minggu. Untuk itu, salah satu langkah pencegahan yang dapat dilakukan yaitu melalui pemberian Maladex 2 minggu sebelum umur serangan. Dosis pencegahannya yaitu: 0,1 ml tiap kg bobot badan atau 1 ml tiap 2 liter air minum, diberikan selama 2 hari setiap minggu.
Jika ayam sudah memperlihatkan gejala klinis penyakit leucocytozoonosis, langkah terbaik ialah segera melakukan pengobatan secara tuntas. Kunci utama dalam pengobatan adalah membasmi parasit Leucocytozoon sp. yang merupakan penyebab utama penyakit ini. Langkah penanganan pertama pada ayam sakit ialah dengan mengurangi atau menghindari kontak langsung antara ayam sakit dengan nyamuk Culicoides sp. dan lalat hitam Simulium sp. karena penyakit ini dapat ditularkan oleh kedua serangga tersebut.

Contoh obat yang bisa digunakan untuk mengobati leucocytozoonosis adalah Maladex. Senyawa kemoterapeutik dari Maladex diketahui ampuh membasmi parasit Leucocytozoon sp. yang menginfeksi ayam. Maladex memutus siklus hidup Leucocytozoon sp. pada stadium sporozoite dan schizogony, dengan menghambat sintesis asam folat yang dibutuhkan dalam proses sintesis DNA.

Penyakit malaria like atau Outbreak Leucocytozoonosis


Dosis pengobatannya: 0,2 ml tiap kg bobot badan atau 1 ml tiap liter air minum, diberikan selama 2-4 hari, kemudian dilanjutkan dengan dosis pencegahan yaitu : 0,1 ml tiap kg bobot badan atau 1 ml tiap 2 liter air minum, diberikan selama 2 hari setiap minggu. Selain itu, bisa juga diberikan Coxy dosis 0,2 gram tiap 1 kg bobot badan atau 1 gram per liter air minum selama 5-7 hari atau Antikoksi dengan dosis 0,3 ml tiap 1 kg bobot badan atau 1,5 ml per liter air minum selama 5-7 hari. Setelah pengobatan selesai, berikan Vita Stress atau Aminovit guna membantu pemulihan penyakit dan meningkatkan stamina tubuh ayam. Jangka waktu pengobatan penyakit leucocytozoonosis tergolong lama dan membutuhkan waktu berminggu-minggu. Hal itu disebabkan karena siklus hidup parasit Leucocytozoon sp. sangat panjang. Siklus hidup Leucocytozoon sp. Sekitar 1 bulan lebih (Brotowidjojo, 1987). Pengobatan terhadap penyakit leucocytozoonosis akan lebih efektif jika dilakukan secara simultan dengan tindakan pencegahan penyebaran Leucocytozoon sp. Mengingat bahwa leucocytozoonosis kerap kali diikuti oleh infeksi sekunder dengan bakteri, maka ayam yang terserang penyakit tersebut dapat juga diberi obat antibakteri yang sesuai, seperti Duoko. Setelah pengobatan dilanjutkan dengan tindakan pencegahan seperti yang tercantum pada point 1 tindakan pencegahan dan pengendalian.

Demikian ulasan yang bisa kami berikan. Semoga artikel ini bisa membantu usaha peternakan Anda. Sekali lagi, waspadalah terhadap outbreak Leucocytozoonosis dan lakukan pencegahan sedini mungkin. Sukses!

(sumber: info.medion.co.id)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...