Selasa, 09 Oktober 2012

Melestarikan ayam hutan

Melestarikan ayam hutan
Keaneka ragaman kekayaan flora fauna Indonesia sangat indah dan menarik untuk dikagumi. Salah satunya adalah ayam hutan yang merupakan nama umum bagi jenis-jenis ayam liar yang hidup di hutan. Jantan dengan betina berbeda bentuk tubuh, warna dan ukurannya (dimorfisme seksual, sexual dimorphisme). Ayam hutan jantan memiliki bulu yang berwarna-warni dan indah, berbeda dengan ayam betinanya yang cenderung berwarna monoton dan kusam.

Ayam hutan diyakini sebagai nenek moyang ayam peliharaan. Dalam bahasa daerah, ayam ini disebut dengan berbagai nama seperti canghegar atau cangehgar (Sd.), ayam alas (Jw.), ajem allas atau tarattah (Md.). Memiliki nama ilmiah Gallus varius (Shaw, 1798), ayam ini dalam bahasa Inggris disebut Green Junglefowl, Javan Junglefowl, Forktail, atau Green Javanese Junglefowl; yakni merujuk pada warna, asal tempatnya hidupnya dan sifatnya yang liar.

Ada empat spesies ayam liar yang semuanya digolongkan dalam genus Gallus Kelas Aves. Keempat spesies ayam liar tersebut dikenal dengan sebutan ayam hutan, yaitu ayam hutan Ceylon (Gallus lafayetti Lesson), ayam hutan abu-abu (Gallus sonneratti Temmick), ayam hutan merah (Gallus gallus Linnaeus), dan ayam hutan hijau (Gallus varius Shaw) (HUTT, 1949).

Ayam hutan Ceylon (Gallus lafayetti Lesson) banyak ditemukan di Sri Langka. Ciri utama ayam ini mempunyai warna bulu mirip ayam hutan merah. Pada ayam jantan, bulu bagian dada berwarna merah jingga dan coklat gelap dan yang betina mempunyai bercakbercak coklat pucat dan coklat gelap atau bercak lurik, jengger pada bagian tengahnya berwarna kuning serta telurnya totol-totol. Sayap dan ekor mempunyai lurik coklat hitam (HUTT, 1949; WALUYO dan SUGARDJITO, 1984).

Ayam hutan abu-abu (Gallus sonneratti Temmick) tersebar di bagian Barat dan Selatan India dari Bombay sampai Madras (HUTT, 1949). Ayam jantan mempunyai warna bulu dada kombinasi antara warna hijau, hitam dan putih. Ujung sayap dan ekor mengecil seperti cacing. Bulu dominan pada jantan dan betina adalah abu-abu dan perak sedangkan pada bagian leher ada lurik putih (WALUYO dan SUGARDJITO, 1984).

Ayam hutan merah (Gallus gallus Linnaeus) tersebar meliputi dari India, Burma, Siam, Cochin, Cina, Semenanjung Malaya, Filipina, dan Indonesia. Di Indonesia dapat ditemukan di Sumatera, Jawa, Lombok dan Timor (HUTT, 1949; WALUYO dan SUGARDJITO, 1984). Ayam jantan memiliki bulu dada berwarna hitam, jengger tunggal berukuran besar dan bergerigi yang berwarna merah. Bulu leher panjang dan sempit, punggung dan sayap berwarna coklat.

Ayam-ayam ini dari segi bentuk tubuh dan perilaku sangat serupa dengan ayam-ayam peliharaan (Gallus gallus domesticus), karena memang merupakan leluhur dari ayam peliharaan. Terutama Ayam hutan merah (Gallus gallus) yang lebih banyak miripnya dengan moyang dari ayam peliharaan. Hal inipun juga mempengaruhi hasil persilangan antara ayam domestik dengan ayam hutan merah, hidup dan yang dapat bereproduksi secara normal, dibanding jika menyilangkan dengan ayam hutan hijau. Fenomena ini didukung oleh penelitian polymorphisme protein darah oleh HASHIGUCHI et al. (1993) yang mendapatkan hasil bahwa kemiripan genetik ayam domestik dengan ayam hutan merah lebih dekat dibandingkan dengan ayam hutan hijau, sehingga kemungkinan hal ini yang mempengaruhi aktivitas perkawinan di antaranya.

Dahulu di pedesaan di daerah Yogyakarta masih banyak ditemukan ayam kampong yang mirip dengan ayam hutan merah ini. Namun untuk saat ini ayam kampong jenis ini yang bertubuh kecil dengan corak bulu yang hamper sama dengan ayam hutan merah sudah sulit dicari. Saat ini penduduk desa lebih senang menyilangkan ayam kampong mereka dengan ayam Bangkok, sehingga keturunan ayam kampong sekarang rata-rata berpostur tegap dan besar.

Dahulu sekitar tahun 1980 di daerah pegunungan Pare dan Menoreh Daerah Istimewa Yogyakarta masih banyak ditemukan Ayam Hutan Hijau. Ayam-hutan Hijau adalah nama sejenis burung yang termasuk kelompok unggas dari suku Phasianidae, yakni keluarga ayam, puyuh, merak dan sempidan.

Secara geografis kedua wilayah di Yogyakarta ini berbukit-bukit dan relative masih terdapat hutan-hutan kecil yang tidak begitu rapat. Seperti kebanyakan ayam hutan hijau lebih menyukai daerah terbuka dan berpadang rumput, tepi hutan dan daerah dengan bukit-bukit rendah dekat pantai. Bahkan dahulu di dusun Ngaran Margokaton Seyegan Sleman sering terjadi beberapa ayam hutan masuk ke pedesaan dan berbaur dengan ayam kampung peliharaan penduduk, hal ini terjadi biasanya pada saat musim kemarau dimana-mana hutan pada merangas karena daunya kering. Ayam hutan yang kesulitan mencari makan akhirnya masuk ke pedesaan untuk mencari makan.

Tetapi tidak seperti keturunannya ayam kampung, Ayam-hutan Hijau pandai terbang. Anak ayam hutan ini telah mampu terbang menghindari bahaya dalam beberapa minggu saja. Ayam yang dewasa mampu terbang seketika dan vertikal ke cabang pohon di dekatnya pada ketinggian 7 m atau lebih. Terbang mendatar, Ayam-hutan Hijau mampu terbang lurus hingga beberapa ratus meter; bahkan diyakini mampu terbang dari pulau ke pulau yang berdekatan melintasi laut.

Pagi dan petang hari, ayam jantan berkokok dengan suaranya yang khas, nyaring sengau. Mula-mula bersuara cek-kreh.. berturut-turut beberapa kali seperti suara bersin, diikuti dengan bunyi cek-ki kreh.. 10 – 15 kali, dengan jeda waktu beberapa sampai belasan detik, semakin lama semakin panjang jedanya. Kokok ini biasanya segera diikuti atau disambut oleh satu atau beberapa jantan yang tinggal berdekatan. Ayam betina berkotek mirip ayam kampung, dengan suara yang lebih kecil-nyaring, di pagi hari ketika akan keluar dari sarangnya.


Di Indonesia terdapat dua jenis ayam hutan yang menyebar alami terutama di bagian barat kepulauan. Kedua jenis itu ialah ayam-hutan merah, yang menyukai bagian hutan yang relatif tertutup; dan ayam-hutan hijau, yang lebih menyenangi hutan-hutan terbuka dan wilayah berbukit-bukit.

Pagi dan sore ayam ini biasa mencari makanan di tempat-tempat terbuka dan berumput, sedangkan pada siang hari yang terik berlindung di bawah naungan tajuk hutan. Ayam-hutan Hijau memakan aneka biji-bijian, pucuk rumput dan dedaunan, aneka serangga, serta berbagai jenis hewan kecil seperti laba-laba, cacing, kodok dan kadal kecil.

Ayam ini kerap terlihat dalam kelompok, 2 – 7 ekor atau lebih, mencari makanan di rerumputan di dekat kumpulan ungulata besar seperti kerbau, sapi atau banteng. Selain memburu serangga yang terusik oleh hewan-hewan besar itu, Ayam-hutan Hijau diketahui senang membongkar dan mengais-ngais kotoran herbivora tersebut untuk mencari biji-bijian yang belum tercerna, atau serangga yang memakan kotoran itu.

Pada malam hari, kelompok ayam hutan ini tidur tak berjauhan di rumpun bambu, perdu-perduan, atau daun-daun palem hutan pada ketinggian 1,5 – 4 m di atas tanah.

Ayam-hutan Hijau berbiak antara bulan Oktober-Nopember di Jawa Barat dan sekitar Maret-Juli di Jawa Timur. Sarang dibuat secara sederhana di atas tanah berlapis rumput, dalam lindungan semak atau rumput tinggi. Telur 3-4 butir berwarna keputih-putihan.

PELESTARIAN AYAM HUTAN
Walaupun dibeberapa daerah ayam hutan liar sudah jarang ditemukan namaun ayam hutan saat ini belum termasuk satwa liar yang harus dilindungi akan tetapi melihat nilai ekonomi yang dimiliki maka konservasi untuk mempertahankan populasinya perlu mendapat perhatian sejak dini agar tidak terlambat.

Penangkaran ayam hutan adalah cara terbaik untuk tetap dapat mempertahankan populasi ayam hutan perlu segera dilakukan. Penangkaran akan lebih mudah dilakukan dengan jalan penetasan dan pembesaran bersama ayam kampung. Apabila diperoleh beberapa ekor anak jantan dan betina hasil penetasan dan pembesaran, ini dapat dijadikan sebagai stok awal dalam memperbanyak populasi ayam hutan yang ada tersebut.

Penangkaran ayam hutan dan mengembangkan populasinya tidak cukup mudah walaupun ayam hutan yang dipelihara sudah cukup jinak. Ayam hutan adalah salah satu satwa liar yang mungkin dapat dibudidayakan akan tetapi sukarnya ayam hutan dalam berkembang biak merupakan salah satu masalah yang akan dihadapi jika akan dibudidayakan. Namun dengan desain kandang yang menyerupai habitat asli di samping ketersediaan pakan yang cukup seperti di sangkar burung TMII maupun Taman Safari, ternyata dapat meningkatkan perkembangbiakan ayam hutan ini.

Sebetulnya tujuan konservasi satwa liar adalah terjaminnya kelangsungan hidup satwa liar dan terjaminnya kebutuhan masyarakat untuk memanfaatkannya baik langsung maupun tidak langsung berdasarkan prinsip kelestariannya. Pola konservasi satwa liar di Indonesia mengikuti strategi konservasi dunia, yaitu tidak saja bertujuan untuk melestarikan spesiesspesies yang ada tetapi juga berusaha untuk memanfaatkannya bagi kesejahteraan manusia secara lestari. Dalam pelaksanaannya, konservasi satwa liar diselenggarakan baik di habitat alamnya (in situ) maupun di luar habitat almnya (ex situ) dengan cara penangkaran.
(sumber: flora-faunaindonesia.blogspot.com)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...