Jumat, 12 Oktober 2012

Permasalahan yang terjadi pada telur ayam

Permasalahan yang terjadi pada telur ayam
Usaha pengembangan peternakan ayam petelur di Indonesia masih memiliki prospek yang cukup terbuka lebar. Hal ini karena telur merupakan salah satu produk yang dibutuhkan untuk memenuhi konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia. Secara garis besar parameter keberhasilan usaha ini ditentukan dari 2 aspek, yaitu aspek pencapaian produktivitas dan keuntungan finansial. Untuk mencapai kedua parameter keberhasilan tersebut, maka produksi telur, yang dilihat dari kuantitas dan kualitasnya, harus mampu dicapai dengan maksimal.

Namun pada kenyataannya, sejauh ini beberapa peternak ayam petelur masih saja menghadapi beraneka ragam masalah yang berdampak pada penurunan produksi telur, baik penurunan jumlah maupun kualitasnya. Ada banyak faktor yang bisa menjadi penyebab, terdiri dari faktor infeksius (penyakit) dan non infeksius (mutu bibit, kecukupan nutrisi, kondisi lingkungan dan manajemen pemeliharaan). Untuk itu beberapa ulasan mengenai telur dan problematika penyebab penurunan produksinya akan coba kami jabarkan.

Telur dan Produksinya

Telur merupakan salah satu sumber protein hewani yang bernilai gizi tinggi. Sebutir telur tersusun dari 10% kerabang telur, 59% putih telur dan 31% kuning telur. Kuning telur sendiri mengandung 13% protein, 12% lemak, multivitamin, asam amino dan mineral. Sedangkan dalam putih telur mengandung 5 jenis protein dan sedikit karbohidrat (Kesmavet, 2008).

Keberhasilan pencapaian produksi telur itu sendiri dilihat dari 2 nilai yaitu nilai kuantitas/jumlah produksi (HD/Hen day) dan kualitas. Jika persentase jumlah produksi telur tinggi namun kualitasnya rendah, maka peternak akan menghadapi masalah terkait ekonomi karena telur dengan kualitas rendah tidak akan laku di pasaran. Demikian pula sebaliknya, jika kualitasnya bagus namun persentase produksinya rendah maka peternak tetap akan mengalami kerugian ekonomi.
  • Persentase jumlah produksi telur
Ayam petelur mulai berproduksi ketika mencapai umur 17-18 minggu. Pada umur tersebut, tingkat produksi telur baru mencapai sekitar 5% dan selanjutnya akan terus mengalami peningkatan secara cepat hingga mencapai puncak produksi yaitu sekitar 94-95% dalam kurun waktu ± 2 bulan (di umur 25 minggu). Produksi telur diketahui telah mencapai puncaknya apabila selama 5 minggu berturut-turut persentase produksi telur sudah tidak mengalami peningkatan lagi. Sesuai dengan pola siklus bertelur, maka setelah mencapai puncak produksi, sedikit demi sedikit jumlah produksi mulai mengalami penurunan secara konstan dalam jangka waktu cukup lama (selama 52-62 minggu sejak pertama kali bertelur). Laju penurunan produksi telur secara normal berkisar antara 0,4-0,5% per minggu. Pada saat ayam berumur 80 minggu, jumlah produksi telah berada di bawah angka 70% dan pada kondisi demikian bisa dikatakan ayam siap di afkir (HyLine Brown Management Guide, 2007).
  • Kualitas telur
Kualitas dari sebutir telur ditentukan oleh kualitas bagian dalam (kekentalan putih dan kuning telur, warna kuning telur dan ada tidaknya bintik darah pada putih atau kuning telur) dan kualitas bagian luar (bentuk, ukuran dan warna kerabang). Telur ayam komersial yang normal memiliki ciri-ciri berwarna coklat terang, kerabang telur tebal, memiliki berat sekitar 55-65 gram/butir, putih telur kental dan di dalam kuning telur tidak terdapat blood spot/bintik darah.

Sejak pertama kali ayam bertelur, yaitu ketika mencapai umur 18 minggu hingga afkir, ukuran dan berat telur memang tidak akan sama setiap harinya. Dalam hal ini, seorang peternak harus memiliki respon untuk menentukan apakah ukuran/berat telur yang dihasilkan sesuai/mendekati standar atau jauh dari standar. Jauh dari standar, artinya bisa lebih besar atau lebih kecil. Tidak sesuainya ukuran dan berat telur bisa disebabkan oleh beberapa faktor yang berbeda.

Mengenai masalah terkait warna telur, umumnya ada beberapa peternak yang menemukan telur tidak berwarna coklat. Warna coklat pada telur ayam pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor genetik yaitu adanya zat warna phorpyrin di saluran reproduksi ayam. Jadi setiap jenis unggas, telah ditentukan warna telurnya baik putih, biru atau coklat. Namun dalam pembentukan warna kulit telur juga dipengaruhi oleh asupan nutrisi atau obat tertentu. Kondisi lingkungan dan penyakit juga bisa berpengaruh terhadap optimal tidaknya pewarnaan kerabang telur. Masalah kerabang telur tipis dan lembek bisa bersumber dari nutrisi ataupun karena infeksi penyakit. Demikian juga dengan putih telur yang encer.

Dalam menjalankan usaha ayam petelur tak jarang terjadi penurunan jumlah produksi yang disertai dengan penurunan kualitas telur sekaligus. Sebagai contoh pada kasus serangan penyakit IB, jumlah produksi telur bisa turun sebesar 10-50%, tidak hanya itu, serangannya pun menyebabkan kualitas telur menurun seperti bentuk telur abnormal, putih telur encer dan warna kerabang telur pucat. Untuk itu perlu adanya upaya mendiagnosa secara cepat dan tepat penyebab penurunan produksi telur agar peternak dapat segera mengantisipasinya. Jika ini dapat dilakukan dengan baik, maka kerugian yang lebih besar dapat dihindari.

Permasalahan Produksi Telur

Secara garis besar ada dua penyebab utama yang mengakibatkan turunnya produksi telur yaitu disebabkan oleh faktor infeksius dan non infeksius. Seringkali kedua faktor tersebut terkait satu sama lain dan menghasilkan dampak yang lebih besar. Berikut ini merupakan faktor-faktor penyebab utama terjadinya penurunan produksi pada peternakan ayam petelur, antara lain :

1.  Faktor infeksius (penyakit)

Faktor penyakit selama ini dianggap sebagai salah satu penyebab utama penurunan produksi telur pada ayam petelur. Penyakit menyebabkan berbagai disfungsi organ, baik itu organ pencernaan, pernapasan, syaraf maupun organ reproduksi yang secara langsung berhubungan dengan produksi telur. Diantara jenis penyakit tersebut yang sering menjadi buah bibir peternak ayam petelur adalah ND, AI, IB dan EDS.

Pada perkembangannya, virus AI memiliki 2 mekanisme dalam mengganggu organ reproduksi ayam, yaitu pembendungan pembuluh darah di ovarium dan rusaknya permukaan ovarium pada saat budding exit atau keluarnya virus dari sel. Kedua mekanisme ini akan mengakibatkan penurunan bahkan menghentikan produksi telur. Infeksi AI juga mempengaruhi kualitas telur dimana serangannya menyebabkan telur kehilangan pigmennya sehingga warna kerabang menjadi lebih pucat.

Perubahan pada organ reproduksi akibat ND yaitu indung telur mengecil, selaput telur membengkak dan terjadi perdarahan. Begitu juga pada infeksi virus EDS, oviduct menjadi kendur dan terdapat oedema (pembengkakan) pada jaringan sub-serosa-nya. Selain itu, penyakit EDS juga menyebabkan warna coklat pada kerabang telur hilang, diikuti dengan kerabang tipis, lembek dan tanpa kerabang. Pada kasus serangan IB, ovarium tidak berkembang, lunak seperti bubur, berdarah, membengkak dan lembek.

Selain itu sering dijumpai kasus pecahnya kuning telur pada rongga perut. Kasus cystic oviduct juga semakin meningkatkan keparahan serangan IB. Dari segi kualitas telur yang dihasilkan, kasus IB menyebabkan warna telur menjadi lebih pucat, ukuran telur lebih kecil, putih telur encer, kerabang menjadi tipis dan mudah pecah.

Kerusakan atau gangguan pada sistem reproduksi akibat infeksi salah satu penyakit penurun produksi telur tersebut akan mengakibatkan produksi telur menurun. Penurunan produksi telur akibat serangan virus IB berkisar 10-50%, EDS menurun 20-40% dan AI bisa mencapai 80%, sedangkan pada kasus ND berdeda-beda tergantung dari status kekebalan.


2.  Faktor non infeksius

Pada kasus non infeksius ada 3 penyebab, antara lain :
  • Kualitas pullet
Pada kasus yang disebabkan oleh kualitas pullet yang kurang baik ditandai dengan ciri-ciri memiliki berat badan dan keseragaman pullet yang rendah. Keseragaman pullet yang rendah ini dapat mengakibatkan ketidakseragaman awal produksi dan tidak seragamnya ukuran telur yang dihasilkan. Ciri lainnya, lamanya mencapai dewasa kelamin sehingga awal produksi menjadi terlambat. Adanya pullet yang mempunyai jarak tulang pubis yang sempit juga menjadi ciri tersendiri yang mengakibatkan ayam tersebut mempunyai ukuran telur yang lebih kecil.
  • Nutrisi ransum dan air minum
Kualitas ransum yang buruk, nutrisinya kurang atau tidak seimbang serta ransum yang mengandung zat racun/antinutrisi dapat menyebabkan penurunan produksi telur. Demikian halnya dengan kecukupan air minum.

Menurut Clauer (2009), ayam petelur yang tidak mengkonsumsi air minum hanya selama beberapa jam, akan berhenti berproduksi telur sampai berminggu-minggu. Ukuran dan berat telur juga dipengaruhi oleh nutrisi ransum seperti protein, asam amino tertentu seperti methionine dan lysine, energi, lemak total dan asam lemak esensial seperti asam linoleat. Tidak terpenuhinya kebutuhan dari salah satu nutrisi tersebut melalui asupan ransum, maka akan mengurangi berat telur. Bahkan jika hal tersebut terjadi pada petelur produksi sebelum umur 40 minggu, bisa berakibat pada penurunan jumlah produksi telur.

Ayam petelur membutuhkan asupan kalsium (Ca) yang cukup tinggi di masa produksi. Jika sediaan Ca di dalam tubuh ayam tidak tercukupi, maka jumlah produksi akan menurun dan pembentukan kerabang telur pun dapat terganggu. Akibatnya kerabang telur lembek. Asupan Ca juga mempengaruhi warna kerabang telur. Jika kadar Ca rendah atau tidak cukup maka sekresi phorpyrin saat pengecatan kerabang telur akan berkurang akibatnya warna kulit telur menjadi lebih putih.

Selain itu, harus diperhatikan pula keseimbangan antara Ca dan P (fosfor), dimana perbandingannya adalah 5-6 : 1. Peranan Ca dan P saling terkait dan mempunyai hubungan yang menunjang satu sama lain. Disamping itu penggunaan Ca dan P akan lebih efisien bila dalam ransum cukup mengandung vitamin D. Vitamin D ini diperlukan untuk mengabsorbsi unsur Ca dan P dalam tubuh ayam. Selain vitamin D, dibutuhkan pula vitamin lain yang diperlukan untuk menyusun telur dan mengantisipasi efek stres yang mungkin timbul sehingga mengganggu produksi telur. Nutrisi yang juga penting untuk diperhatikan kadarnya dalam ransum ialah mineral garam (NaCl). Pemberian kadar garam yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menurunkan produksi telur. Ayam yang kurang mengkonsumsi garam akan menunjukkan gejala rontok bulu (mematuk ayam lain, mematuk bulunya sendiri) atau mengalami penurunan nafsu makan. Sebaliknya ayam yang mengkonsumsi terlalu banyak garam, akan meningkatkan konsumsi air minumnya dan menurunkan konsumsi ransum. Akibatnya nutrisi yang dibutuhkan untuk membentuk telur berkurang dan penurunan produksi pun akan terjadi. Berikan ransum dengan kadar garam 0,3-0,4% (www.daff.gov.za).

Seringkali kasus ketidakseimbangan nutrisi berdampak pada pencapaian berat badan (BB) ayam yang tidak sesuai dengan standar. Saat memasuki masa produksi, ayam dengan BB di bawah standar tidak akan memulai produksi telur dan jika berproduksi pun akan dihasilkan telur berukuran kecil dalam waktu yang relatif lama.

Selain itu, periode produksi menjadi mundur dengan jumlah produksi yang rendah. Begitu juga sebaliknya, pertumbuhan BB yang melebihi standar akan menyebabkan produksi telur menjadi turun dengan ukuran telur yang besar. Selain itu juga sering memicu terjadinya kasus prolapsus. Kejadian prolapsus tentunya akan sangat berakibat fatal karena berdampak pada kerusakan permanen saluran telur sehingga ayam berhenti berproduksi. Adanya timbunan lemak tersebut juga akan menghambat proses pembentukan telur (produksi telur rendah).
  • Manajemen pemeliharaan
Kegagalan manajemen pemeliharaan ayam petelur tak pelak lagi juga mengakibatkan penurunan jumlah produksi dan kualitas telur. Tindakan manajemen tersebut mencakup banyak hal, antara lain sebagai berikut :

1.  Kurangnya pencahayaaan atau tidak cukupnya intensitas cahaya

Ayam petelur yang sudah memasuki masa produksi telur, membutuhkan 16 jam pencahayaan untuk memelihara jumlah produksi telur tetap optimal. Faktor pencahayaan saat masa pullet juga berhubungan erat dengan pencapaian berat, ukuran telur dan kematangan saluran reproduksi. Secara umum ayam yang mengalami kematangan seksual terlalu dini (belum cukup umur) akan memproduksi telur dengan ukuran kecil. Demikian juga sebaliknya ketika kematangan seksual terlambat, maka ayam akan memproduksi telur dengan ukuran besar (abnormal).

2.  Faktor stres

Stres dapat menyebabkan turunnya produksi telur. Stres yang biasa terjadi meliputi stres akibat perubahan cuaca/suhu (kedinginan atau kepanansan), pindah kandang, serangan parasit dan perlakuan kasar. Stres yang ditimbulkan akibat suara gaduh atau perlakuan kasar dapat menyebabkan proses pembentukkan kerabang telur tidak berlangsung secara sempurna. Kedinginan adalah stres yang paling sering terjadi selama musim penghujan. Dalam kondisi ini pencahayaan berkurang dan berakibat tidak terangsangnya hormon reproduksi untuk memproduksi telur.

Sebaliknya stres akibat cuaca panas, menyebabkan ayam lebih banyak minum dan mengurangi aktivitas konsumsi ransum sehingga kebutuhan nutrisi untuk pembentukan telur tidak terpenuhi. Kondisi ini dapat menyebabkan produksi telur turun, demikian pula dengan kualitasnya. Selama cuaca panas, ayam akan melakukan panting (megap-megap) sehingga mengeluarkan banyak karbondioksida (CO2). Pada pembentukan telur, CO2 diperlukan untuk membentuk kalsium karbonat (CaCO3) yang berguna untuk menyusun kerabang telur. Akibat CO2 berkurang maka kerabang akan lebih tipis dan mudah retak.


Mengatasi Berbagai Problematika Produksi Telur

Berdasarkan berbagai faktor yang telah dijabarkan di atas, maka tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan produksi telur ialah :
  • Faktor infeksius
Untuk mengatasi masalah penurunan produksi yang bekaitan dengan faktor infeksius, dalam hal ini kita harus mencegah terjadinya infeksi penyakit melalui pelaksanaan program vaksinasi dan penerapan biosekuriti. Untuk mengatasi kasus karena infeksi penyakit seperti ND, AI, EDS dan IB, lakukan program vaksinasi sesuai kondisi peternakan setempat. Untuk ayam petelur yang telah memasuki masa produksi, sebaiknya lakukan pula monitoring titer antibodi ND, AI, EDS dan IB secara rutin.
  • Faktor noninfeksius
        Perbaiki manajemen pemeliharaan

Lakukan kontrol berat badan (BB) ketika periode starter dan grower (pullet) serta usahakan agar ayam tidak terlalu gemuk atau terlalu kurus (± 10% dari berat badan standar)

Atur program pencahayaan. Telur kecil yang disebabkan karena tingkat kematangan seksual terlalu dini, biasanya sulit untuk diatasi karena organ reproduksinya sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Untuk memperoleh telur dengan ukuran yang optimal, jangan memberi tambahan cahaya pada ayam periode grower sebelum ayam tersebut mencapai BB 1550-1600 gram (siap berproduksi)

Ciptakan kondisi yang nyaman selama masa pemeliharaan. Sediakan air minum dan tempat minum dalam jumlah yang cukup, buka tirai lebar-lebar, pasang kipas angin, ganti sekam yang basah, dan lakukan penyemprotan kandang dengan menggunakan desinfektan seperti Antisep atau Neo Antisep. Selain itu juga harus menghindarkan dan meminimalkan faktor penyebab stres pada ayam seperti cuaca panas atau suara gaduh. Jika perlu, ayam dipuasakan makan 1-2 jam selama cuaca panas pada siang hari untuk mengurangi panas yang dikeluarkan oleh tubuhnya

        Penuhi kebutuhan nutrisi ransum

Berikan ransum dengan nutrisi yang sesuai kebutuhan ayam di tiap periode pemeliharaannya terutama untuk kandungan protein, asam amino, energi, asam lemak, kalsium, fosfor dan vitamin D (karena sangat berperan pada pembentukan telur). Untuk mengatasi kekurangan Ca, dapat ditambahkan grit (tepung kulit kerang) dalam ransum. Grit merupakan sumber kalsium yang baik. Pada ayam petelur umur 3-10 minggu, grit diberikan sebanyak 3 g/ekor/hari, dengan ukuran grit berdiameter 2-3 mm. Sedangkan pada umur > 10 minggu, berikan grit sebanyak 4-5 g/ekor/hari dengan ukuran grit berdiameter 3-5 mm

Perlu diingat juga bahwa penyerapan Ca oleh tubuh ayam dipengaruhi oleh kecukupan vitamin D. Oleh sebab itu selain pemberian grit, perlu ditambahkan juga suplemen vitamin seperti Strong Egg atau Egg Stimulant. Egg Stimulant juga berguna untuk mempercepat tercapainya produksi telur yang maksimal sekaligus mempertahankan produksi telur tetap tinggi. Selain itu, suplementasi asam amino (methionine dan lysine), khususnya yang terkandung dalam Aminovit dan Top Mix mampu menambah produksi dan berat telur. Bila kualitas ransum kurang baik, tambahkan Top Mix untuk meningkatkan kualitasnya.

Mempertahankan produksi telur sesuai dengan standar memang membutuhkan berbagai tindakan penanganan yang tepat. Jika peternak merasakan mulai terjadi penurunan produksi telur, segera lakukan anamnesa disertai dengan pembacaan recording produksi sebagai langkah awal diagnosa. Pada penurunan produksi yang disebabkan oleh faktor infeksi penyakit, langkah selanjutnya ialah dengan mengamati gejala klinis yang tampak, perubahan patologi anatomi yang terjadi dan lakukan pemeriksaan uji laboratorium untuk meneguhkan diagnosa. Langkah-langkah tersebut penting dilakukan untuk mendeteksi secara dini penyebab turunnya produksi sehingga dapat dilakukan penanganan lebih lanjut melalui program antisipasi yang tepat. Salam.
sumber: infomedion.co.id

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...